SLiMS adalah akronim dari Senayan Library Management System. Awalnya dikembangkan oleh Perpustakaan Kementerian Pendidikan Nasional untuk menggantikan Alice (http://www2.softlinkint.com). Tujuan utamanya agar Perpustakaan Kemdiknas mempunyai kebebasan untuk menggunakan, mempelajari, memodifikasi dan mendistribusikan perangkat lunak yang digunakan. SLiMS, maka dirilis dengan lisensi GPL dan sekarang pengembangan SLiMS dilakukan oleh komunitas penggunanya.
Asal Mula
Setelah beroperasi 50 tahun lebih, karena beberapa alasan Perpustakaan BC Indonesia yang telah selama bertahun-tahun menjadi andalan layanan BC di Indonesia harus ditutup. Pengelola BC Indonesia kemudian berinisiatif untuk menghibahkan pengelolaan aset perpustakaanya ke tangan institusi pemerintah. Dalam hal ini, institusi pemerintah yang dianggap sesuai bidangnya dan strategis tempatnya, adalah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Yang dihibahkan tidak hanya koleksi, tetapi juga rak koleksi, hardware (server dan workstation) serta sistem termasuk untuk aplikasi manajemen administrasi perpustakaan (Alice).
Seiring dengan berjalannya waktu, manajemen Perpustakaan Depdiknas mulai menghadapi beberapa kendala dalam penggunaan sistem Alice. Pertama, keterbatasan dalam menambahkan fitur-fitur baru. Antara lain: kebutuhan manajemen serial, meng-online-kan katalog di web dan kustomisasi report yang sering berubah-ubah kebutuhannya. Penambahan fitur jika harus meminta modul resmi dari developer Alice, berarti membutuhkan dana tambahan yang tidak kecil. Apalagi tidak ada distributor resminya di Indonesia sehingga harus mengharapkan support dari Inggris. Ditambah lagi beberapa persyaratan yang membutuhkan infrastruktur biaya mahal seperti dedicated public IP agar bisa meng-online-kan Alice di web.
Saat itu untuk mengatasi sebagian kebutuhan (utamanya kustomisasi report), dilakukan dengan ujicoba mengakses langsung database yang disimpan dalam format DBase. Terkadang berhasil terkadang tidak karena struktur datanya proprietary dan kompleks serta jumlah rekodnya banyak. Untuk mempelajari struktur database, dicoba melakukan kontak via email ke developer Alice. Tetapi tidak ada respon sama sekali. Disini muncul masalah kedua. Sulitnya mempelajari lebih mendalam cara kerja perangkat lunak Alice. Karena Alice merupakan sistem proprietary yang serba tertutup, segala sesuatunya sangat tergantung vendor. Dibutuhkan sejumlah uang untuk mendapatkan layanan resmi untuk kustomisasi.
Perpustakaan Depdiknas salah satu tupoksinya adalah melakukan koordinasi pengelolaan perpustakaan unit kerja dibawah lingkungan Depdiknas. Dalam implementasinya, seringkali muncul kebutuhan untuk bisa mendistribusikan perangkat lunak sistem perpustakaan ke berbagai unit kerja tersebut. Disini masalah ketiga: sulit (atau tidak mungkin) untuk melakukan redistribusi sistem Alice. Alice merupakan perangkat lunak yang secara lisensi tidak memungkinkan diredistribusi oleh pengelola Perpustakaan Depdiknas secara bebas. Semuanya harus ijin dan membutuhkan biaya.
November 2006, perpustakaan dihadapkan oleh sebuah masalah mendasar. Sistem Alice tiba-tiba tidak bisa digunakan. Ternyata Alice yang digunakan selama ini diimplementasikan dengan sistem sewa. Pantas saja biayanya relatif murah. Tiap tahun pengguna harus membayar kembali untuk memperpanjang masa sewa pakainya. Tetapi yang mengkhawatirkan adalah fakta bahwa perpustakaan harus menyimpan semua informasi penting dan kritikal di sebuah sistem yang tidak pernah dimiliki. Yang kalau lupa atau tidak mau membayar sewa lagi, hilanglah akses terhadap data kita sendiri. Konyol sekali. Itu sama saja dengan bunuh diri kalau masih tergantung dengan sistem berlisensi seperti itu.
Akhirnya pengelola Perpustakaan Depdiknas me-review kembali penggunaan sistem Alice di perpustakaan Depdiknas. Beberapa poin pentingnya antara lain:
• Alice memang handal (reliable), tapi punya banyak keterbatasan. Biaya sewanya memang relatif murah, tetapi kalau membutuhkan support tambahan, baik sederhana ataupun kompleks, sangat tergantung dengan developer Alice yang berpusat di Inggris. Butuh biaya yang kalau di total juga tidak murah.
• Model lisensi proprietary yang digunakan developer Alice tidak cocok dengan kondisi kebanyakan perpustakaan di Indonesia. Padahal pengelola Perpustakaan Depdiknas sebagai koordinator banyak perpustakaan di lingkungan Depdiknas, punya kepentingan untuk bisa dengan bebas melakukan banyak hal terhadap software yang digunakan.
• Menyimpan data penting dan kritikal untuk operasional perpustakaan di suatu software yang proprietary dan menggunakan sistem sewa, dianggap sesuatu yang konyol dan mengancam independensi dan keberlangsungan perpustakaan itu sendiri.
• Alice berjalan diatas sistem operasi Windows yang juga proprietary padahal pengelola Perpustakaan Depdiknas ingin beralih menggunakan Sistem Operasi open source (seperti GNU/Linux dan FreeBSD).
• Masalah devisa negara yang terbuang untuk membayar software yang tidak pernah dimiliki.
• Intinya: pengelola Perpustakaan Depdiknas ingin menggunakan software yang memberikan dan menjamin kebebasan untuk: menggunakan, mempelajari, memodifikasi dan melakukan redistribusi. Lisensi Alice tidak memungkinkan untuk itu.
Setelah memutuskan untuk hijrah menggunakan sistem yang lain, maka langkah berikutnya adalah mencari sistem yang ada untuk digunakan atau mengembangkan sendiri sistem yang dibutuhkan. Beberapa pertimbangan yang harus dipenuhi:
• Dirilis dibawah lisensi yang menjamin kebebasan untuk: menggunakan, mempelajari, memodifikasi dan melakukan redistribusi. Model lisensi open source (www.openosurce.org) dianggap sebagai model yang paling ideal dan sesuai.
• Teknologi yang digunakan untuk membangun sistem juga harus berlisensi open source.
• Teknologi yang digunakan haruslah teknologi yang relatif mudah dipelajari oleh pengelola perpustakaan Depdiknas yang berlatarbelakang pendidiknas pustakawan, seperti PHP (scripting language) dan MySQL (database). Jika tidak menguasai sisi teknis teknologi, maka akan terjebak kembali terhadap ketergantungan pada developer.
Langkah berikutnya adalah melakukan banding software sistem perpustakaan open source yang bisa diperoleh di internet. Beberapa software yang dicoba antara lain: phpMyLibrary, OpenBiblio, KOHA, EverGreen. Pengelola perpustakaan Depdiknas merasa tidak cocok dengan software yang ada, dengan beberapa alasan:
• Desain aplikasi dan database yang tidak baik atau kurang menerapkan secara serius prinsip-prinsip pengembangan aplikasi dan database yang baik sesuai dengan teori yang ada (PHPMyLibrary, OpenBiblio).
• Menggunakan teknologi yang sulit dikuasai oleh pengelola perpustakaan Depdiknas (KOHA dan EverGreen dikembangkan menggunakan Perl dan C++ Language yang relatif lebih sulit dipelajari).
• Beberapa sudah tidak aktif atau lama sekali tidak di rilis versi terbarunya (PHPMyLibrary dan OpenBiblio).
Karena tidak menemukan sistem yang dibutuhkan, maka diputuskan untuk mengembangkan sendiri aplikasi sistem perpustakaan yang dibutuhkan. Dalam dunia pengembangan software, salah satu best practice-nya adalah memberikan nama kode (codename) pengembangan. Nama kode berbeda dengan nama aplikasinya itu sendiri. Nama kode biasanya berbeda-beda tiap versi. Misalnya kode nama “Hardy Heron” untuk Ubuntu Linux 8.04 dan “Jaunty Jackalope” untuk Ubuntu Linux 9.04. Pengelola perpustakaan Depdiknas Untuk versi awal (1.0) aplikasi yang akan dikembangkan, memberikan nama kode “Senayan”. Alasannya sederhana, karena awal dikembangkan di perpustakaan Depdiknas yang berlokasi di Senayan. Apalagi Perpustakaan Depdiknas mempunyai brand sebagai library@senayan. Belakangan karena dirasa nama “Senayan” dirasa cocok dan punya nilai marketing yang bagus, maka nama “Senayan” dijadikan nama resmi aplikasi sistem perpustakaan yang dikembangkan.
Mengembangkan Senayan
Sebelum mulai mengembangkan Senayan, ada beberapa keputusan desain aplikasi yang harus dibuat. Aspek desain ini penting diantaranya untuk pengambilankeputusan dari berbagai masukan yang datang dari komunitas. Antara lain:
Pertama, Senayan adalah aplikasi untuk kebutuhan administrasi dan konten perpustakaan (Library Automation System). Senayan didesain untuk kebutuhan skala menengah maupun besar. Cocok untuk perpustakaan yang memiliki koleksi, anggota dan staf banyak di lingkungan jaringan, baik itu lokal (intranet) dan internet.
Kedua, Senayan dibangun dengan memperhatikan best practice dalam pengembangan software seperti dalam hal penulisan source code, dokumentasi, dan desain database.
Ketiga, Senayan dirancang untuk compliant dengan standar pengelolaan koleksi di perpustakaan. Untuk standar pengatalogan minimal memenuhi syarat AACR 2 level 2 (Anglo-American Cataloging Rules). Kebutuhan untuk kesesuaian dengan standar di perpustakaan terus berkembang dan pengelola perpustakaan Depdiknas dan developer Senayan berkomitmen untuk terus mengembangkan Senayan agar mengikuti standar-standar tersebut.
Keempat, Senayan didesain agar bisa juga menjadi middleware bagi aplikasi lain untuk menggunakan data yang ada didalam Senayan. Untuk itu Senayan akan menyediakan API (application programming Interface) yang berbasis web service.
Kelima, Senayan merupakan aplikasi yang cross-platform, baik dari sisi aplikasinya itu sendiri dan akses terhadap aplikasi. Untuk itu basis yang paling tepat ada basis web.
Keenam, teknologi yang digunakan untuk membangun Senayan, haruslah terbukti bisa diinstall di banyak platform sistem operasi, berlisensi open source dan mudah dipelajari oleh pengelola perpustakaan Depdiknas. Diputuskan untuk menggunakan PHP (www.php.net) untuk web scripting languange dan MySQL (www.mysql.com) untuk server database.
Ketujuh, diputuskan untuk mengembangkan library PHP sendiri yang didesain spesifik untuk kebutuhan membangun library automation system. Tidak menggunakan library PHP yang sudah terkenal seperti PEAR (pear.php.net) karena alasan penguasaan terhadap teknologi dan kesederhanaan. Library tersebut diberinama “simbio”.
Kedelapan, untuk mempercepat proses pengembangan, beberapa modul atau fungsi yang dibutuhkan yang dirasa terlalu lama dan rumit untuk dikembangkan sendiri, akan menggunakan software open source yang berlisensi open source juga. Misalnya: flowplayer untuk dukungan multimedia, jQuery untuk dukungan AJAX (Asynchronous Javascript and XML), genbarcode untuk dukungan pembuatan barcode, PHPThumb untuk dukungan generate image on-the-fly, tinyMCE untuk web-based text editor, dan lain-lain.
Kesembilan, untuk menjaga spirit open source, proses pengembangan Senayan dilakukan dengan infrastruktur yang berbasis open source. Misalnya: server web menggunakan Apache, server produksi menggunakan OS Linux Centos dan OpenSuse, para developer melakukan pengembangan dengan OS Ubuntu Linux, manajemen source code menggunakan software git, dan lain-lain.
Kesepuluh, Senayan dirilis ke masyarakat umum dengan lisensi GNU/GPL versi 3 yang menjamin kebebasan penggunanya untuk mempelajari, menggunakan, memodifikasi dan redistribusi Senayan.
Kesebelas, para developer dan pengelola perpustakaan Depdiknas berkomitmen untuk terus mengembangkan Senayan dan menjadikannya salah satu contoh software perpustakaan yang open source, berbasis di indonesia dan menjadi salah satu contoh bagi model pengembangan open source yang terbukti berjalan dengan baik.
Keduabelas, model pengembangan Senayan adalah open source yang artinya setiap orang dipersilahkan memberikan kontribusinya. Baik dari sisi pemrogaman, template, dokumentasi, dan lain-lain. Tentu saja ada mekanisme mana kontribusi yang bagus untuk dimasukkan dalam rilis resmi, mana yang tidak. Mengacu ke dokumen … (TAMBAHKAN DENGAN TULISAN ERIC S RAYMOND)
Model pengembangan senayan
Pengembangan Senayan awalnya diinisiasi oleh pengelola Perpustakaan Depdiknas. Tetapi sekarang komunitas pengembang Senayan (Senayan Developer Community) yang lebih banyak mengambil peran dalam mengembangkan Senayan. Beberapa hal dibawah ini merupakan kultur yang dibangun dalam mengembangkan Senayan:
1. Meritokrasi. Siapa saja bisa berkontribusi. Mereka yang banyak memberikan kontribusi, akan mendapatkan privilege lebih dibandingkan yang lain.
2. Minimal punya concern terhadap pengembangan perpustakaan. Contoh lain: berlatar belakang pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi, bekerja di perpustakaan, mengelola perpustakaan, dan lain-lain. Diharapkan dengan kondisi ini, sense of librarianship melekat di tiap developer/pengguna Senayan. Sejauh ini, semua developer senayan merupakan pustakawan atau berlatarbelakang pendidikan kepustakawanan (Information and Librarianship).
3. Release early, release often, and listen to your customer. Release early artinya setiap perbaikan dan penambahan fitur, secepat mungkin dirilis ke publik. Diharapkan bugs yang ada, bisa cepat ditemukan oleh komunitas, dilaporkan ke developer, untuk kemudian dirilis perbaikannya. Release often, artinya sesering mungkin memberikan update perbaikan bugs dan penambahan fitur. Ini “memaksa” developer Senayan untuk terus kreatif menambahkan fitur Senayan. Release often juga membuat pengguna berkeyakinan bahwa Senayan punya sustainability yang baik dan terus aktif dikembangkan. Selain itu, release often juga mempunyai dampak pemasaran. Pengguna dan calon pengguna, selalu diingatkan tentang keberadaan Senayan. Tentunya dengan cara yang elegan, yaitu rilis-rilis Senayan. Sejak dirilis ke publi pertama kali November 2007 sampai Juli 2009 (kurang lebih 20 bulan) telah dirilis 18 rilis resmi Senayan. Listen to your customer. Developer Senayan selalu berusaha mengakomodasi kebutuhan pengguna baik yang masuk melalui report di mailing list, ataupun melalui bugs tracking system. Tentu tidak semua masukan diakomodasi, harus disesuaikan dengan desain dan roadmap pengembangan Senayan.
4. Dokumentasi. Developer Senayan meyakini pentingnya dokumentasi yang baik dalam mensukseskan implementasi Senayan dibanyak tempat. Karena itu pengembang Senayan mempunyai tim khusus yang bertanggungjawab yang mengembangkan dokumentasi Senayan agar terus uo-to-date mengikuti rilis terbaru.
5. Agar ada percepatan dalam pengembangan dan untuk mengakrabkan antar pengembang Senayan, minimal setahun sekali diadakan Senayan Developers Day yang mengumpulkan para developer Senayan dari berbagai kota, dan melakukan coding bersama-sama.
Fitur Senayan
Sebagai sebuah Sistem Automasi Perpustakaan yang terintergrasi, modul-modul yang telah terdapat di SENAYAN adalah sebagai berikut:
Modul Pengatalogan (Cataloging Module)
1) Compliance dengan standar AACR2 (Anglo-American Cataloging Rules).
2) Fitur untuk membuat, mengedit, dan menghapus data bibliografi sesuai dengan standar deskripsi bibliografi AACR2 level ke dua.
3) Mendukung pengelolaan koleksi dalam berbagai macam format seperti monograph, terbitan berseri, audio visual, dsb.
4) Mendukung penyimpanan data bibliografi dari situs di Internet.
5) Mendukung penggunaan Barcode.
6) Manajemen item koleksi untuk dokumen dengan banyak kopi dan format yang berbeda.
7) Mendukung format XML untuk pertukaran data dengan menggunakan standar metadata MODS (Metadata Object Description Schema).
8) Pencetakan Barcode item/kopi koleksi Built-in.
9) Pencetakan Label Punggung koleksi Built-in.
10) Pengambilan data katalog melalui protokol Z3950 ke database koleksi Library of Congress.
11) Pengelolaan koleksi yang hilang, dalam perbaikan, dan rusak serta pencatatan statusnya untuk dilakukan pergantian/perbaikan terhadap koleksi.
12) Daftar kendali untuk pengarang (baik pengarang orang, badan/lembaga, dan pertemuan) sebagai standar konsistensi penuliasn
13) Pengaturan hak akses pengelolaan data bibliografi hanya untuk staf yang berhak.
Modul Penelusuran (OPAC/Online Public Access catalog Module)
1) Pencarian sederhana.
2) Pencarian tingkat lanjut (Advanced).
3) Dukungan penggunaan Boolean's Logic dan implementasi CQL (Common Query Language).
4) OPAC Web Services berbasis XML.
5) Mendukung akses OPAC melalui peralatan portabel (mobile device)
6) Menampilkan informasi lengkap tetang status koleksi di perpustakaan, tanggal pengembalian, dan pemesanan item/koleksi
7) Detil informasi juga menampilkan gambar sampul buku, lampiran dalam format elektronik yang tersedia (jika ada) serta fasilitas menampilkan koleksi audio dan visual.
8) Menyediakan hyperlink tambahan untuk pencarian lanjutan berdasarkan penulis, dan subjek.
Modul Sirkulasi (Circulation Module)
1) Mampu memproses peminjaman dan pengembalian koleksi secara efisien, efektif dan aman.
2) Mendukung fitur reservasi koleksi yang sedang dipinjam, termasuk reminder/pemberitahuan-nya.
3) Mendukung fitur manajemen denda. Dilengkapi fleksibilitas untuk pemakai membayar denda secara cicilan.
4) Mendukung fitur reminder untuk berbagai keperluan seperti melakukan black list terhadap pemakai yang bermasalah atau habis keanggotaannya.
5) Mendukung fitur pengkalenderan (calendaring) untuk diintegrasikan dengan penghitungan masa peminjaman, denda, dan lain-lain.
6) Memungkinkan penentuan hari-hari libur non-standar yang spesifik.
7) Dukungan terhadap ragam jenis tipe pemakai dengan masa pinjam beragam untuk berbagai jenis keanggotaan.
8) Menyimpan histori peminjaman anggota.
9) Mendukung pembuatan peraturan peminjaman yang sangat rinci dengan mengkombinasikan parameter keanggotaan, jenis koleksi, dan gmd selain aturan peminjaman standar berdasarkan jenis keanggotaan
Modul Manajemen Keanggotaan (Membership Management Module)
1) Memungkinkan beragam tipe pemakai dengan ragam jenis kategori peminjaman, ragam jenis keanggotaan dan pembedaan setiap layanan sirkulasi dalam jumlah koleksi serta lama peminjaman untuk jenis koleksi untuk setiap jenis/kategori.
2) Dukungan terhadap input menggunakan barcode reader
3) Memungkinkan untuk menyimpan informasi preferensi pemakai atau subject interest.
4) Memungkinkan untuk menyimpan informasi tambahan untuk keperluan reminder pada saat transaksi.
5) Memungkinkan menyimpan informasi detail pemakai yang lebih lengkap.
6) Pencarian informasi anggota minimal berdasarkan nomor dan nama anggota.
7) Pembuatan kartu anggota yang dilengkapi dengan barcode untuk transaksi peminjaman.
Modul Inventarisasi Koleksi (Stocktaking Module)
1) Proses inventarisasi koleksi bisa dilakukan secara bertahap dan parsial tanpa harus menutup layanan perpustakaan secara keseluruhan.
2) Proses inventarisasi bisa dilakukan secara efisien dan efektif.
3) Terdapat pilihan untuk menghapus data secara otomatis pada saat akhir proses inventarisasi terhadap koleksi yang dianggap hilang.
Modul Statistik/Pelaporan (Report Module)
1) Meliputi pelaporan untuk semua modul-modul yang tersedia di Senayan.
2) Laporan Judul.
3) Laporan Items/Kopi koleksi.
4) Laporan Keanggotaan.
5) Laporan jumlah koleksi berdasarkan klasifikasi.
6) Laporan Keterlambatan.
7) Berbagai macam statistik seperti statistik koleksi, peminjaman, keanggotaan, keterpakaian koleksi.
8) Tampilan laporan yang sudah didesain printer-friendly, sehingga memudahkan untuk dicetak.
9) Filter data yang lengkap untuk setiap laporan.
10) API untuk pelaporan yang relatif mudah dipelajari untuk membuat custom report baru.
Modul Manajemen Terbitan Berseri (Serial Control)
1) Manajemen data langganan.
2) Manajemen data Kardex.
3) Manajemen tracking data terbitan yang akan terbit dan yang sudah ada.
4) Memungkinkan tracking data terbitan berseri yang jadwal terbitnya tidak teratur (pengaturan yang fleksibel).
Modul Lain-lain
1) Dukungan antar muka yang multi bahasa (internasionalisasi) dengan Gettext.
2) Dukungan terhadap penggunaan huruf bukan latin untuk pengisian data dan pencarian.
Roadmap Pengembangan Senayan
SENAYAN akan terus dikembangkan oleh para pengembangnya beserta komunitas pengguna SENAYAN lainnya. Berikut adalah Roadmap pengembangan SENAYAN ke depannya:
Pengembangan aplikasi:
1. Kompatibilitas dengan MARC dan standar pertukaran data yang komplit. Contoh implementasinya:
• Memastikan bahwa format data bibliografi kompatibel dengan MARC secara lebih baik (minimal MARC light).
• Dukungan terhadap RFID.
• Fitur untuk impor / ekspor rekod dari The Online Computer Library Centre (OCLC), Research Libraries Information Network (RLIN), vendor sistem lain yang compliant dengan MARC.
• Validasi data ISBN menggunakan modulus seven.
• Dukungan terhadap standar di perpustakaan, seperti: Library of Congress Subject Headings, Library of Congress Classification, ALA filing rules, International Standard Bibliographic Description, ANSI Standard for Bibliographic Information Exchange on magnetic tape, Common communication format (ISO 2709).
2. Katalog induk/bersama (union catalog)
3. Implementasi Thesaurus. Contoh implementasinya:
• Pemanfaatan tesaurus untuk proses pengatalogan.
• Pemanfaatan tesaurus untuk proses pencarian, misalnya memberikan advis pencarian menggunakan knowledge base yang dibangun dengan sistem tesaurus.
4. Implementasi Library 2.0. Contoh implementasinya:
• User bisa login dan mempunyai halaman personalisasi.
• User bisa melakukan reservasi koleksi dan memperpanjang peminjaman.
• User bisa melakukan komunikasi dengan pustakawan via messaging system.
• User bisa melakukan tagging, rekomendasi koleksi dan menyimpannya didalam daftar koleksi favoritnya.
• User bisa memberikan komentar terhadap koleksi.
• Pustakawan bisa memasukkan preferensi pemakai didalam data keanggotaan. Preferensi tersebut bisa dimanfaatkan salah satunya untuk men-generate semacam daftar koleksi terpilih untuk dicetak atau ditampilkan ketika user login.
5. Peningkatan dukungan manajemen konten digital dan entri analitikal
Pengembangan basis komunitas pengguna:
• Membangun komunitas pengguna di berbagai kota
• Mengadakan Senayan Developers Day untuk silaturahmi antar developer Senayan, update dokumentasi, penambahan fitur baru dan bug fixing dan mencari bibit pengembang yang baru.
• Workshop/Seminar Nasional Tahunan
• Jam Sessions rutin setiap 3 bulan